Tragedi 1998

Amnesty Brawijaya
4 min readMay 5, 2023

--

Oleh Magnis Pasko Tjopa

Pada bulan Mei 1998, Jakarta menjadi saksi atas peristiwa kelam yang akan terus menghantui ribuan hingga jutaan korban dari aksi kerusuhan dan penjarahan. Peristiwa yang awal mulanya hanya merupakan sebuah wadah aspirasi para demonstran terhadap pemerintah akibat krisis moneter dan inflasi, berubah menjadi luapan amarah warga pribumi terhadap penduduk yang beretnis Tionghoa.

Dalam era pemerintahan Soeharto, warga etnis Tionghoa seringkali mengalami penindasan dan direnggut hak-haknya. Mereka dilarang untuk merayakan tradisi kebudayaan serta melakukan kegiatan keagamaan. Perintah tersebut tertulis dalam Instruksi Presiden №14 tahun 1967. Pemerintah juga mengharuskan warga dengan etnis Tionghoa untuk melakukan perubahan nama, dimana hal tersebut tercantum dalam Surat Edaran №06/Preskab/6/67/. Mereka diwajibkan untuk mengubah nama mereka menjadi nama yang berbau lokal atau Indonesia, hal ini terjadi sebagai upaya untuk menyeimbangkan asimilasi kebudayaan etnis Tionghoa agar proporsional. Padahal setiap warga sipil dengan latar belakang apapun baik dari etnis minoritas sekalipun, seharusnya diperbolehkan untuk mempertahankan jati diri beserta identitasnya. Tentunya, hal ini sangat bertentangan dengan prinsip dari HAM yang jika dalam konvensi internasional, seperti pada International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial, International Covenant on Civil and Political Rights mengenai hak-hak sipil dan politik, serta International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dari negara-negara yang telah ikut meratifikasi dan berkomitmen untuk melenyapkan praktik diskriminasi rasial untuk mendukung praktik toleransi serta perdamaian antara segala ras dan etnis.

Kebencian terhadap etnis Tionghoa dalam rezim pemerintahan Orde Baru bermula dari Gerakan 30 September, sebuah aksi kudeta yang dikendarai oleh Partai Komunis Indonesia yang mengakibatkan puluhan hingga ratusan ribu korban jiwa, termasuk nyawa dari 6 jenderal dan 1 perwira. Tuduhan dan stereotip komunis terhadap warga etnis Tionghoa merupakan awal mula dari kebijakan diskriminatif dan seperatif semasa era rezim Orde Baru.

Di sisi lain, antisemitisme, kebencian terhadap keturunan Yahudi juga mempunyai andil terhadap stereotip dan rasa dengki yang tersebar dalam kehidupan warga etnis Tionghoa. Rezim berganti, taraf hidup warga etnis Tionghoa secara keseluruhan, mengalami kemakmuran ekonomi dan dapat memenuhi segala kebutuhan hidup. Ironinya, masih terdapat cukup banyak warga pribumi yang mengalami kesulitan finansial dan menghadapi masalah-masalah lainnya.

Karena adanya kontras terhadap kedua keadaan hidup yang berbeda, maka warga etnis Tionghoa dianggap sebagai parasit, menyerap segala gelimang harta dan mencapai kemakmuran yang seharusnya didapatkan oleh warga pribumi. Kejadian ini juga terjadi di era pemerintahan Adolf Hitler semasa paham dan ideologi Nazisme merajalela di Jerman. Masyarakat Yahudi mendapatkan kehidupan serta pendapatan yang lebih layak dibandingkan rakyat Jerman kala itu, memicu rasa iri dengki dan menyulut kebencian.

Dengan performa dominan dalam perekonomian serta kesulitan untuk beradaptasi dengan budaya serta bahasa Indonesia, masyarakat keturunan Tionghoa dijadikan sasaran kambing hitam oleh masyarakat pribumi. Hal ini diperparah dengan sejarah buruk kerjasama dagang oleh masyarakat keturunan Tionghoa dengan pemerintah kolonial Belanda di saat masa penjajahan.

Krisis moneter Asia pada tahun 1997 menjadi tantangan terbesar serta krusial yang dihadapi oleh rezim pemerintahan Orde Baru. Pertumbuhan ekspor terhambat, investasi asing serta nilai pasar aset mengalami penurunan drastis, membuat para investor asing menarik diri, meninggalkan negara-negara Asia di keruntuhan finansial.

Tidak disangka, masyarakat keturunan Tionghoa dijadikan sebagai kambing hitam di balik krisis moneter saat itu. Penjarahan dan pembakaran toko terjadi di berbagai sektor di Jakarta, hingga aksi pemerkosaan dan pembunuhan wanita-wanita Tionghoa terjadi.

Hingga kini, tidak ada aksi nyata di balik pemerintah untuk menangani masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia di Jakarta. Terakhir, Presiden Joko Widodo mengakui bahwa sesungguhnya benar terjadi masalah HAM pada tahun 1965 dan 1998, tapi tidak ada rencana atau solusi untuk mengungkap masalah tersebut. Dalam keterangan pers, Joko Widodo dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, mereka mengungkapkan bahwa mereka berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana. Namun kenyataannya, negara belum mengakui adanya proses penyelidikan kasus yang tidak independen, imparsial, dan sesuai standar HAM internasional.

Penting untuk diketahui, diskriminasi sistematis, penghilangan paksa, serta pemerkosaan dan pembunuhan merupakan bagian dari kejahatan HAM yang berat, diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional atau Rome Statute of the International Criminal Court (ICC). Terlepas dari kehadiran Statuta Roma sebagai perjanjian internasional di bawah otoritas Mahkamah Pidana Internasional, Indonesia hingga kini belum kunjung meratifikasi Statuta Roma.

Di lain pihak, masyarakat keturunan Tionghoa berusaha membantah seluruh stereotip dan asumsi bahwa mereka merugikan rakyat pribumi dan perekonomian negara dengan secara aktif berpartisipasi di bidang politik. Terbentuknya Partai Reformasi Tionghoa Indonesia menjadi saksi dan bukti bahwa kini mereka aktif tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga politik.

Daftar Pustaka

Apa itu Pelanggaran HAM Berat? • Amnesty International Indonesia. (2021, October 6). Amnesty International Indonesia. Retrieved April 28, 2023, from https://www.amnesty.id/apa-itu-pelanggaran-ham-berat/

Artists Tackles History of Anti-Chinese Discrimination in Indonesia. (n.d.). Asia Society. Retrieved April 28, 2023, from https://asiasociety.org/new-york/artists-tackles-history-anti-chinese-discrimination-indonesia

Melacak Sejarah Prasangka pada Etnis Tionghoa di Indonesia. (2021, February 12). CNN Indonesia. Retrieved April 28, 2023, from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210210145438-20-604775/melacak-sejarah-prasangka-pada-etnis-tionghoa-di-indonesia

Timmerman, A., & Putz, C. (2020, May 13). What Do the May 1998 Riots Mean for Young Chinese Indonesians? The Diplomat. Retrieved April 28, 2023, from https://thediplomat.com/2020/05/what-do-the-may-1998-riots-mean-for-young-chinese-indonesians/

Translations of Antisemitism: The History of Jews and Violence in Indonesia — HFG. (n.d.). Harry Frank Guggenheim Foundation. Retrieved April 28, 2023, from https://www.hfg.org/grant_summaries/translations-of-antisemitism-the-history-of-jews-and-violence-in-indonesia/

Why it’s important to talk about Chinese-Indonesians or Chindos. (2016, August 30). The Jakarta Post. Retrieved April 28, 2023, from https://www.thejakartapost.com/youth/2016/08/30/why-its-important-to-talk-about-chinese-indonesians-or-chindos.html

--

--

Amnesty Brawijaya

Selamat datang di Medium Kami, kami menyuarakan opini kami mengenai Hak Asasi Manusia