Wearing Different Glasses: Sisi Lain Kasus Kopi Sianida

Amnesty Brawijaya
4 min readNov 13, 2023

--

Another Prespective of “Ice Cold: Murder, Coffee, dan Jessica Wongso”

Oleh: Raditya Raka Vilandra

Kasus terpidana pembunuhan berencana yang sempat gempar hingga menjadi berita nasional pada tahun 2016, kembali menjadi perbincangan pasca munculnya film dokumenter ciptaan Netflix, “Ice Cold: Murder, Coffee, dan Jessica Wongso”. Pasalnya, film ini terkesan memberikan pesan kepada masyarakat bahwasanya terdapat suatu kejanggalan dalam proses peradilan pidana pada kasus ini. Kasus ini terjadi pada 6 Januari 2016, di Kafe Olivier, Jakarta Pusat. Singkat cerita, Korban Mirna Salihin mengalami kejang-kejang setelah 2 menit dan meninggal pasca meminum Vietnamese Iced Coffee yang dipesan oleh Terdakwa Jessica Wongso. Sesaat setelah kejadian, pihak kafe Olivier menyadari terdapat keanehan pada kopi milik Mirna yang berwarna sangat kuning dan memiliki bau menyengat. Segera pihak kafe melakukan pengecekan pada bahan yang digunakan dalam membuat kopi tersebut, tetapi tidak menemukan kesalahan.

Pihak otoritas Polda Metro Jaya kemudian melakukan penyelidikan karena dicurigai terdapat kasus pembunuhan berencana menggunakan zat kimia berbahaya sianida dan merekonstruksi Tempat Kejadian Perkara (TKP) dengan melibatkan tim Indonesia Automatic Finger Print Identification dan tim laboratorium forensik dari markas besar Polri. Dalam masa penyelidikan, dilakukan autopsi terhadap tubuh Mirna dan ditersiar dari isi lambung Mirna positif mengandung sianida. Zat ini menghentikan kerja sel-sel tubuh untuk mendapatkan oksigen yang dibutuhkan sehingga oksigen yang tidak terpakai membanjiri aliran darah dan membuat warna kulit menjadi merah cherry.

Pada 30 Januari 2016, Terdakwa Jessica Wongso ditangkap dan menjalani sidang pertama pada 15 Juni 2016. Jaksa Penuntut Umum memiliki dugaan kuat dalam dakwaan yang diberikan, yakni Jessica seakan mengetahui titik buta kamera pengawas di dalam kafe dengan menaruh paper bag di depan gelas sehingga menghalangi pandangan kamera pengawas. JPU memberikan petunjuk kepada penyidik untuk melakukan pemeriksaan toksikologi dan mendapat kesimpulan bahwa sianida masuk ke dalam kopi sekitar pukul 16.29 hingga 16.33, dan dalam rentang waktu empat menit tersebut tidak ada orang lain yang berada di sekitar tempat kejadian. Namun, kembali pada fakta bahwa berdasarkan hal tersebut sama sekali tidak dapat dibuktikan kapan Jessica memasukkan sianida ke dalam kopi dan apa motifnya.

Terdakwa Jessica memiliki kuasa hukum pengacara papan atas Otto Hasibuan. Dalam perjalanan pembelaannya, Otto Hasibuan meyakini bahwa Terdakwa Jessica tidak bersalah, dia percaya bahwa tidak ada bukti langsung dan tidak ada alasan sekecil apapun yang dapat menyatakan Jessica bersalah. Di sisi lain, JPU memandang bahwasanya tidak diharuskan ada bukti langsung dan cukup dengan berpedoman pada rangkaian alat bukti yang dapat menunjukkan bahwasanya hanya Terdakwa Jessicalah yang dapat melakukan pembunuhan ini. Kasus berjalan begitu kompleks dimana banyak ahli yang didatangkan, salah satunya adalah dr. Djaya Surya Atmadja yang merupakan ahli patologi forensik. Diketahui bahwa autopsi yang dilakukan di tubuh korban belum secara menyeluruh dan hanya merupakan pengambilan sampel. Maka, menurut ahli hal tersebut tidak dapat membuktikan penyebab pasti kematian korban.

Kejanggalan mulai terjadi dimana sebuah fakta terungkap yakni saat korban diperiksa pada 70 menit pasca meninggal, di dalam lambungnya terdeteksi negatif sianida, dan baru muncul setelah tiga hari kematian itupun dalam dosis kecil (0,2 miligram) yang diyakini bukan menjadi penyebab kematian. Dosis zat sianida yang dapat menghilangkan nyawa berkisar pada 50–176 miligram dimana dalam sebuah biji apel sekalipun terkandung pula zat sianida sebanyak 0,6 miligram. Seorang ahli toksikologi menyatakan bahwa zat sianida dapat berubah bentuk dari cair menjadi gas, dan jika hal tersebut terjadi maka dapat membuat seisi ruangan pingsan. Hal tersebut dibuktikan langsung oleh Pengacara Otto Hasibuan pada saat persidangan, Otto membuka tutup botol berisi gelas barang bukti bahkan menciumnya dan membuktikan bahwasanya tidak terjadi apa-apa. Dengan ini dr. Djaya menyatakan secara tegas bahwa kematian korban bukan disebabkan oleh zat sianida, yang mana berarti Terdakwa Jessica adalah tidak bersalah. Lebih lanjut, dr. Djaya adalah dokter pertama yang melihat korban dua jam setelah meninggal dan melihat warna kulit korban berwarna biru, bukan berwarna merah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kematian karena sianida menyebabkan warna kulit menjadi merah cherry.

Proses pengadilan terus berjalan hingga persidangan ke-20, pengacara mengundang ahli patologi forensik dari Australia yang dalam kesaksiannya menyatakan bahwa kematian ini bukan merupakan pembunuhan, melainkan kematian alami. Pihak JPU melawan dengan melaporkan ahli tersebut telah melakukan pelanggaran imigrasi, sehingga ahli tersebut dideportasi dan dicekal masuk Indonesia selama enam bulan. Hal tersebut dipandang oleh Pengacara tidak patut dari sudut pandang keadilan dan mulai merasakan kejanggalan pada pihak berwenang. Semua tuduhan dianggap hanya bersifat dugaan tanpa ada bukti langsung. Bahkan, seorang saksi ahli menggunakan dasar teori empiris pada studi kasus di Amerika untuk menilai terdakwa bersalah hanya dengan melihat bentuk wajah seperti lekukan mata dan hidung, ia berani menyatakan bahwa terdakwa adalah tipe seorang psikopat. Hal tersebut kemudian dikaitkan dengan terdakwa yang masih bisa tersenyum saat dibawa di ruang persidangan dan dinyatakan sebagai terdakwa (psycho-narcissist).

Seorang jurnalis mendapat kesempatan langsung untuk mewawancarai terdakwa, dan menemukan bahwa Jessica adalah seorang yang manja dan dinilai tidak mampu merancang skema pembunuhan berencana sedemikian hebat. Hal tersebut sangat kontradiktif dengan tuduhan psikolog yang menggambarkan terdakwa sebagai orang yang terstruktur dan mampu menyusun rencana pembunuhan. Pada sisi yang lain, Jessica mempunyai jejak kurang baik selama berkuliah di Australia dan kepolisian memiliki beberapa catatan pelanggaran. Pada sisi yang lain lagi, pada saat terdakwa menjalani pemeriksaan di rumah sakit Cipto Mangunkusumo, ditemukan obat anti depresan yang biasa digunakan oleh seorang pengidap gangguan jiwa.

Pada kesimpulannya, JPU tetap tidak dapat memberikan bukti yang sah secara hukum, dan cenderung lebih mengarah pada kondisi mental dan psikologi, raut wajah, tatapan mata, serta perilaku janggal terdakwa sebagai dasar dakwaan. Jessica sempat melakukan wawancara dengan pihak produser film dokumenter ini, tetapi sesi wawancara di stop pada menit ke-32 dan segala akses wawancara diblokir oleh pihak berwenang. Hal ini cukup mengherankan karena pada kasus lainnya seorang pelaku teroris sekalipun diperbolehkan untuk diwawancarai. Jessica hanya dapat memberikan buku hariannya kepada tim produser, yang tertulis diantaranya kalimat “Kenapa aku harus terbang melintasi lautan untuk menyakiti temanku yang tidak ada kaitannya apapun dalam hidupku, pada siang bolong, di tempat umum?”, dan “…rekaman aku masuk dan keluar cafe diputar berulang-ulang, namun rekaman polisi masuk dan keluar cafe dengan barang bukti dikatakan telah dihapus secara permanen?”.

Referensi:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
777/PID.B/2016/PN.JKT.PST

Netflix Dokumenter “Ice Cold: Murder, Coffee, dan Jessica Wongso”

--

--

Amnesty Brawijaya

Selamat datang di Medium Kami, kami menyuarakan opini kami mengenai Hak Asasi Manusia