Buntut Panjang Penangkapan Tiga Petani Pakel

Amnesty Brawijaya
5 min readNov 20, 2023

--

Oleh: Aulia Lintang Savitri

Penangkapan secara tiba-tiba bagi tiga petani di Desa Pakel, Banyuwangi, pada bulan Februari lalu menyiratkan sejumlah pertanyaan. Pasalnya, dugaan kriminalisasi tersebut terjadi atas tiga warga desa Pakel, Untung, Mulyadi, Suwarno, di saat perjalanan mereka saat bertolak ke Desa Aliyan guna hadir dalam rapat asosiasi Kepala Desa Banyuwangi. Penangkapan ini diduga ada kaitannya dengan konflik agraria yang tengah mereka perjuangkan. Namun, hal itu dinilai layaknya penculikan karena tak ada dasar penangkapan yang konkret.

Konflik di atas lahan Desa Pakel, di kabupaten Banyuwangi sejatinya telah ada sejak satu abad lamanya. Tanah Pakel, sejak 1929, sudah diakui hak kepemilikannya bagi warga desa Pakel berdasarkan Acte Van Verwizing atau Akta 1929. Surat itu berisikan pernyataan izin pembukaan lahan atas nama Ratu Belanda oleh asisten residen Banyuwangi, Achmad Notohadisoeryo. Akan tetapi, melalui surat ini, harapan petani untuk leluasa menggarap lahan itu tidak juga tercapai begitu saja. Banyak pertentangan yang masih saja diluncurkan. Walaupun sebetulnya, jika melihat dari catatan sejarah, sejak 1963 sampai 1965, masyarakat desa Pakel sudah melakukan beragam cara untuk mempertahankan lahannya. Mereka pernah mengajukan permohonan hak konversi status kepemilikan tanah, tetapi belum ada respons yang berarti dari pemerintah. Aparat pemerintah kolonial saat itu masih terus menghalalkan segala cara untuk menghalangi petani mengeksploitasi tanahnya sendiri, mulai dari pemenjaraan berkali-kali, perampasan surat pemberi bukti, hingga perompakan alat-alat tani. Hal ini bukan tanpa alasan, lahan itu dinyatakan sebagai lahan perluasan bagi Perkebunan Pakuda — saat ini PT Bumi Sari. Pada 18 September 1985, Hak Guna Usaha (HGU) PT Bumi Sari terbit. Berdasarkan SK.35/HGU/DA/85, hanya Desa Songgon dan Kluncinglah yang masuk ke dalam kepemilikan PT Bumi Sari, sedangkan Desa Pakel tidak disebutkan satu kalimat pun. Namun, dalam praktiknya, ekspansi PT Bumi Sari turut mencapai lahan Pakel. Hal tersebut jelas menyimpang dari ketentuan.

Persengketaan Pakel tidak kunjung menemukan titik temu. HGU yang dilayangkan atas tanah Pakel tidak dapat diperhitungkan, mengingat HGU hanya dapat diberikan untuk tanah milik negara. Sementara itu, tanah Desa Pakel tidak mencapai syarat sebagai tanah milik negara akibat masyarakat Pakel telah menggunakan tanah itu sebelum terbitnya sertifikat HGU dan jauh sebelum Indonesia merdeka. Hal ini juga dibuktikan dengan hadirnya Akta 1929. Terlebih lagi, dalam penerbitan HGU di atas tanah yang masih digarap secara aktif sejak satu abad lalu ini, masyarakat setempat harus dilibatkan dalam tiap prosesnya, sedangkan baik kepala desa ataupun lurah tidak pernah diikutsertakan sampai HGU tersebut turun. Dengan demikian, menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), seluruh kegiatan PT Bumi Sari tidak berhak dilakukan di atas Desa Pakel.

Konflik tanah yang terjadi secara berkelanjutan dan turut menyita perhatian publik ini tengah diperjuangkan keadilannya. Berbagai upaya petani untuk berjuang melawan kuatnya korporasi masih mewarnai tanah Pakel hingga saat ini. Berangkat dari kasus penangkapan tiga warga desa Pakel pada 3 Februari lalu, memperlihatkan bagaimana rangkaian kriminalisasi terhadap petani Pakel masih berlanjut. Dilansir dari CNN Indonesia, Polda Jawa Timur bersama Polresta Banyuwangi melayangkan tuduhan kepada Suwarno (54), Mulyadi (55), dan Untung (53) akibat penyebaran berita hoaks yang menyebabkan keonaran. Kombes Pol Deddy Fouri Millewa, selaku Kapolres Banyuwangi, menyatakan bahwa tersangka tersebut menyebarkan informasi soal kepemilikan tanah Pakel merupakan warisan untuk warga dari Sri Baginda Ratu Belanda pada 1929. Menurut Deddy, hal tersebut disebut sebagai berita bohong karena HGU saat ini dipegang oleh PT Bumi Sari. Ketiganya dijerat Pasal 14 dan/atau 15 Undang-undang Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Namun, jika dilihat dari proses penangkapan hingga peradilan, juga diakui tidak sesuai prosedur karena tidak ada surat pemanggilan yang jelas dan dirasa ada kejanggalan dalam tiap proses hukumnya. Tindak penahanan ini mungkin lebih cocok disebut tindak penculikan akibat tuduhan yang tidak berdasar dan nihil bukti. Berdasarkan Walhi Jatim, tuduhan penyebaran berita bohong ini tidak relevan. Hal ini kembali menorehkan catatan kelam aparat sebagai institusi penegak keadilan. Kriminalisasi atas warga desa Pakel, pada akhirnya, diduga menyalahi aturan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, Walhi Jatim kembali mendesak Komnas HAM, ATR BPN, maupun pihak terkait lainnya untuk membela dan melindungi tiga warga Pakel tersebut atas segala tindak kekerasan.

Upaya untuk menuju praperadilan pun sudah dilakukan. Sampai detik ini, para warga yang tergabung dengan Rukun Tani Sumberejo Pakel masih bersedia mengawal jalannya proses peradilan hingga tuntas. Tuntutan demi tuntutan dilayangkan, tetapi tak ada satu pun menemui titik penyelesaian. Tiga petani itu hanya korban dari konflik agraria di tanah Pakel. Dalam sidang pembelaan di PN Banyuwangi pada 12 Oktober 2023 lalu, baik Suwarno, Untung, maupun Mulyadi menjelaskan satu-satu nota pembelaan mereka. Bagi Suwarno, sebagai Kepala Dusun Durenan di Pakel, melanjutkan perjalanan leluhur atas lahan tersebut sangat penting bagi kelanjutan hidup, tak hanya bagi dirinya, tetapi juga masyarakat Pakel secara keseluruhan. Ia juga menyatakan bahwa dirinya berusaha tetap tegar menghadapi tuduhan demi istri dan anak-anaknya di rumah. Melanjutkan keresahan ini, menurut Untung, selaku Kepala Dusun Taman Glugoh, selama ia mendekam di tahanan, ekonomi keluarganya ada di roda bagian bawah. Ia juga kerap mempertanyakan keonaran apa yang telah ia buat hingga membuat dirinya dibui saat ini. Di lain sisi, Kepala Desa Pakel alias Mulyadi, menyatakan dirinya tidak memiliki maksud dan tujuan apapun selain memperjuangkan lahan di Desa Pakel, tak lain dan tak bukan, bagi masyarakatnya.

Ketimpangan kepemilikan lahan ini tentu merampas hak masyarakat desa Pakel. Harapan untuk hidup bebas seakan tidak ada karena eratnya cekikan konflik agraria ini. Kuatnya korporasi yang berkuasa atas monopoli lahan Pakel adalah potret bagaimana konflik agraria di Indonesia belum terselesaikan dengan baik. Tindakan PT Bumi Sari, dinilai Walhi, juga sebagai praktik penyelewengan ekonomi bagi kelompok petani. Kelompok ini termarginalisasi di atas tanahnya sendiri. Jika melihat hal tersebut, penulis menyatakan pentingnya peran pemerintah dalam memberikan kebijakan terhadap kasus perebutan lahan macam ini. Peran pemerintah di sini adalah untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat untuk hidup dan memiliki pekerjaan serta penghidupan yang layak tidak semata-mata hilang jika nantinya terjadi pencabutan hak atas tanah mereka. Peninjauan ulang HGU PT Bumi Sari, bagi penulis, tidak boleh dihiraukan lagi karena lahan tersebut sudah diusahakan secara aktif sejak lama oleh masyarakat Pakel. Tak hanya sampai di situ, peran pemerintah untuk menjadi penengah antara kepentingan ekonomi perusahaan dengan kesejahteraan masyarakat di sekitar lahan persengketaan ini juga sangat fundamental. Uluran tangan negara untuk mengadili putusan bagi mereka yang terinjak-injak konflik agraria ini pun diperlukan. Segala bentuk penindasan HAM seiring berjalannya praktik persengketaan lahan sudah sebaiknya dihapuskan, sehingga konflik di Pakel ini tidak hanya melanggengkan kisah kegagalan penyelesaian konflik agraria semata. Untuk itu, warga Pakel harus mendapatkan kembali hak kelola lahan seadil-adilnya.

Referensi

Bagaskara, Mirza. “Tiga Petani desa Pakel Banyuwangi Ditangkap Polisi Buntut Konflik Lahan Dengan Korporasi.” Tempo, February 4, 2023. https://nasional.tempo.co/read/1687644/tiga-petani-desa-pakel-banyuwangi-ditangkap-polisi-buntut-konflik-lahan-dengan-korporasi.

CNN Indonesia. “Polda Jatim Tahan Petani Pakel Banyuwangi Terkait Dugaan Berita Bohong.” nasional, February 8, 2023. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230208174809-12-910609/polda-jatim-tahan-petani-pakel-banyuwangi-terkait-dugaan-berita-bohong.

Ghazali, Imam. 2023. “Hikayat Tanah Pakel, Konflik Agraria, Petani Pakel, Perkebunan Pakuda.” 14 (1): 64–88.

Na, Alvina. “Suara Petani Pakel Banyuwangi Di Sidang Pembelaan: Kami Wajib Mempertahankan Tanah — Kabar Trenggalek.” Kabar Trenggalek, October 13, 2023. https://kabartrenggalek.com/2023/10/suara-petani-pakel-banyuwangi-di-sidang-pembelaan-kami-wajib-mempertahankan-tanah.html.

Pancarani, Irischa Aulia, and Wahyuni, R. 2023. “Perlindungan Hak Kepemilikan Tanah Masyarakat Desa Pakel: Penelusuran Legal Standing Akta 1929 Dalam Sengketa Tanah Dengan PT. Bumi Sari.” Tunas Agraria 6 (2): 110–24. https://doi.org/10.31292/jta.v6i2.225.

Purwanti, Tari. 2020. “Petani, Lahan Dan Pembangunan: Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Kehidupan Ekonomi Petani.” Umbara.

WALHI. “Konflik, Ketimpangan Akut Dan Perjuangan Warga Pakel — WALHI,” April 10, 2023. https://www.walhi.or.id/konflik-ketimpangan-akut-dan-perjuangan-warga-pakel.

WALHI. “Sidang Ke 8 Petani Pakel: Ada Indikasi Pelanggaran HAM di Pakel.” WALHI JAWA TIMUR, July 18, 2023. https://walhijatim.org/2023/07/18/sidang-ke-8-petani-pakel-ada-indikasi-pelanggaran-ham-di-pakel/.

--

--

Amnesty Brawijaya

Selamat datang di Medium Kami, kami menyuarakan opini kami mengenai Hak Asasi Manusia